Pages

Selasa, 16 April 2013

Tradisi Bima

Dalam tradisi Bima, upacara memegang peranan menentukan. Upacara sudah mentradisi sejak Bima kuno terutama mewarisi tradisi Hindu di masa lampau. Ketika Islam menjadi agama Kerajaan Bima, upacara menjadi alat dakwah. Sebut saja Upacara U’a Pua, yang mempunyai nilai syiar yang luar biasa.

Dalam Masyarakat Donggo dulu, upacara umumnya bernilai sakral. Misalnya upacara persembahan kepada dewa. Mereka mengorbankan binatang seperti kerbau. Namun upacara animis tersebut sudah ditinggalkan seiring dengan kian menguatnya pengaruh Islam dalam kehidupan mereka.

Dalam tulisan ini, akan dikemukakan secara singkat beberapa upacara seperti pernikahan dan khitanan, antara lain dikutip dan diadaptasi dari Buku “Dou (Manusia) Dompu”, edisi perdana 2001.
Pernikahan Adat Bima

Pernikahan atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan makan calon dianggap tidak sopan. Untuk itu harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu. Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.

Panati atau Dou Sodi


Dalam tradisi Bima, Panati menjadi pintu gerbang menuju ke jenjang pernikahan. Panati adalah melamar atau meminang perempuan. Panati diawali dengan datangnya utusan pihak laki-laki ke orang tua perempuan. Utusan datang untuk menanyakan apakah sang gadis sudah memiliki kumbang atau calon suami. Bila memperoleh jawaban bahwa sang perempuan berstatus bebas, kembali dilakukan pendekatan untuk mengetahui apakah perempuan itu dapat dilamar. Jika lamaran itu diterima oleh pihak perempuan, si pria melakukan apa yang disebut wi’i nggahi. Pada hari yang ditetapkan, pertunangan diresmikan dalam Upacara Pita Nggahi.
Upacara melamar atau meminang dalam bahasa daerah disebut panati. Orang yang diutus untuk melakukan pinangan disebut Ompu Panati. Bila pinangan itu diterima, resmilah kedua remaja berada dalam ikatan pacaran. Satu dengan yang lain disebut dou sodi (dou artinya orang,sodi artinya tanya, maksudnya orang yang sudah ditanya isi hatinya dan sepakat untuk dinikahkan). Karena sudah saling diikat, yang seorang sudah menjadi dou sodi yang lain, kedua remaja itu tak bebas lagi untuk mencari pacar lain (Khaerul Muslim, 2001). Jika kedua remaja itu sudah mengikat janji, biasanya perempuan meminta sang pria agar mengirim orang tuanya. Biasanya sodi angitidak berlangsung lama melainkan langsung diikuti dengan melamar sang gadis. Tujuannya, antara lain, untuk menghindari fitnah dan hal-hal lain yang tidak terpuji.

Ngge’e Nuru : 
Ngge’e nuru maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua. Ngge’e artinya tinggal, nuru artinya ikut. Pria sudah diterima lamarannya, bila kedua belah pihak menghendaki, sang pria diperkenankan tinggal bersama calon mertua di rumah calon mertua. Dia akan menanti bulan baik dan hari baik untuk melaksanakan upacara pernikahan. Datangnya sang pria untuk tinggal di rumah calon mertua inilah yang disebut dengan Ngge’e Nuru. Selama terjadinya ngge’e nuru, sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang baik kepada calon mertuanya. Bila selama ngge’e nuru ini sang pria memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang tidak sopan, malas dan sebagainya, atau tak pernah melakukan shalat, lamaran bisa dibatalkan secara sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti ikatan sodi angi diantara dua remaja tadi putus. Tujuan utama ngge’e nuru ini adalah proses adaptasi antara sang pria dengan kehidupan calom mertua. Selama ngge’e nuru, pria tidak diperkenankan bergaul bebas dengan perempuan calon istrinya.
Wa’a Coi 

Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya upacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya. Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.

M b o l o   W e k i  

Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian. Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik, bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya.

Teka Ra Ne’e : 
Teka ra ne’e ke keluarga yang melaksanakan hajatan merupakan kebiasaan di kalangan masyarakat Bima. Teka ra ne’e berupa pemberian bantuan pada keluarga yang mengawinkan putra putrinya. Bila upacara teka ra ne’e dimulai, berduyun-duyunlah masyarakat (umumnya kaum wanita) datang ke rumah keluarga tuan rumah membawa uang, bahan pakaian dan sebagainya. Selama acara pernikahan digelar keramaian seperti malam hadrah atau biola semalam suntuk. Ada pula olahraga seperti Guntaw atau tarian seperti Buja Kadanda.

Jambuta : 
Ada sebuah acara yang menjadi bagian dari prosesi perkawinan yaitu jambuta. Semula acara ini hanya berlaku di kalangan etnis Arab, namun akhirnya menjadi bagian dari tradisi Bima maupun Orang Melayu. Jambuta hampir sama tujuannya dengan Teka ra ne’e namun pelaksanaannya cukup satu hari. Sedang Teka ra ne’e berkisar antara dua hingga tiga hari.

K A P A N C A


Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum calon penganti wanita dinikahkan. Setiba di uma ruka, calon pengantin wanita akan melaksanakan acar adat yang disebut kapanca, yaitu acara penempelan kapanca (inai) di atas telapak tangan calon pengantin wanita. Dilakukan secara bergiliran oleh ibu-ibu pemuka adat. 

Kapancamerupakan peringatan bagi si calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tak lama lagi akan melakukan tugas sebagai istri atau ibu rumah tangga. Seiring dengan kegiatan kapanca, akan disuguhkan juga sejenis kesenian rakyat yang bernafaskan ajaran Islam yang disebut Ziki Kapanca yang dilakukan oleh para undangan. Mereka akan membawakan syair bernuansa Islam yang liriknya berisi pujian dan sanjungan pada Allah dan Rasul. Usai Ziki Kapanca dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian dan musik Mbojo Bima semalam suntuk.

A k a d   N i k a h 

Akad nikah merupakan puncak acara. Sebelum akad berlangsung, malamnya dilakukan upacara kapanca (memberi atau menghias daun pacar yang digiling halus pada jari-jari tangan dan kaki pengantin). Acara ini disebut londo dende, dimana pengantin pria diantar ramai-ramai oleh keluarga dan handai taulan dengan diiringi kesenian hadrah ke tempat pengantin wanita. Pengantin pria mengenakan pakaian adat pengantin. Kadang-kadang kedua pengantin diarak bersama-sama menuju tempat upacara. Seringkali pula hanya pengantin pria yang diarak. Pengantin wanita cukup menunggu di tempat upacara.

Di tempat pengantin wanita dipersiapkan berpakaian adat pengantin dan duduk di atas pelaminan yang dihias ornamen-ornamen tradisional. Duduknya di bawah (di atas kasur berhias) dengan bersimpuh menurut adat (doho tuku tatu’u). Ia didampingi seorang inang pengasuh dan dua remaja putri dari keluarga dekat yang bertugas mengipas, selain itu duduk pula dua orang laki-laki atau perempuan yang membawa alat penginang.

Di muka pelaminan duduk berbaris berhadap-hadapan putri-putri remaja yang membawa lilin berhias. Di belakang dan di samping mereka duduk para tamu ibu-ibu dan bapak-bapak. Orang tua pengantin wanita duduk di sebelah pelaminan. Ruangan tersebut dibatasi dengan tirai adat yang disebut Dindi Ra-Lara berwarna-warni. Biasanya dipakai warna merah, hijau, kuning dan putih.

Saat pengantin dan rombongan naik atau masuk ke ruangan, mereka berhenti di depan tirai. Terjadilah semacam dialog pendek antara pengantar (bapak-bapak) pengantin pria dengan penjaga tirai (bapak-bapak) pihak wanita. Setelah diserahkan uang pelumas dan sirih pinang, barulah tirai dibuka oleh ibu-ibu dari pihak wanita dari dalam tirai dan disambung dengan taburan beras kuning.

Masuklah pengantin pria dengan dikawal dua orang bapak atau ibu yang berhenti di depan pelaminan. Pengantin pria melangkah naik ke pelaminan dan menancapkan setangkai kembang ke atas gelung penganting wanita yang duduk membelakangi. Pengantin wanita mencabut kembangnya dan membuangnya (ini dilakukan tiga kali). Acara ini disebut nenggu. Setelah neggu, pengantin wanita berbalik dan sama-sama duduk berhadapan kemudian pengantin wanita sujud atau salaman dengan pengantin pria. Selanjutnya mereka duduk bersanding untuk disaksikan oleh undangan dan handai taulan.

Pada acara ini seluruh masyarakat, pemuka agama, laki prempuan diundang untuk menyaksikan dan memberi do’a restu. Pelaksanaan upacara ini bermacam-macam. Kadang-kadang hanya dengan selamat biasa yang biasa disebut do’a jama. Kadang-kadang dengan pesta yang cukup meriah dengan diiringi orkes atau band. Dengan disaksikan oleh seluruh tamu, dihadapan petugas agama, saksi khusus, pengantin pria duduk berhadapan dengan calon mertuanya, berpegangan tangan dalam posisi dua ibu jari kanan mereka saling dirapatkan. Dalam posisi demikian, diadakanlah akad nikah atau ijab kabul yang dalam bahasa daerah disebut lafa. Akad nikah atau ijab kabul atau lafa harus didahului dengan mengucapkan kalimat syahadat yang diucapkan oleh calon mertua atau wali dengan diikuti oleh mempelai pria.

Selesai mengucapkan akad nikah, resmilah si pria menjadi suami si wanita. Proses selanjutnya adalah mengantar pengantin laki-laki menuju tempat duduk pengantin wanita dengan diantar oleh penghulu atau siapa saja yang ada di sekitar itu untuk melakukan upacara caka(jengkal) yaitu ibu jari kanan pengantin pria diletakkan di atas ubun-ubun pengantin wanita yang disusul dengan saling berjabat tangan antar kedua pengantin yang selanjutnya mereka duduk bersanding.Caka dimaksudkan sebagai pertanda permulaan sang suami menyentuh istrinya dan mulai saat itu mereka sudah halal untuk bergaul sebagai suami istri.

Boho Oi Ndeu :
Boho oi ndeu adalah mandi sebagai pertanda ucapan selamat tinggal atas masa remaja. Boho oi ndeu ini dilakukan sehari setelah akad nikah, dilangsungkan tapi sebelum pengantin bergaul sebagai suami istri. Pada upacara ini kedua pengantin duduk bersama pada tempat tertentu yang telah disediakan. Kemudian dari atas kepalanya oleh dukun dituangkan air yang sudah disiapkan dalam periuk tanah yang baru (roa bou; roa artinya periuk; bou berarti baru). Leher periuk dilingkari dengan segulung benang putih. Boho oi ndeu biasanya dilakukan pagi hari yang disusul dengan do’a selamatan pada sore harinya. Kedua pengantin duduk berdampingan, menduduki suatu alat tenun yang disebut lira, sedangkan badan mereka dililit dengan untaian benang tenun dari kapas putih sebagai lambang ikatan suci kemudian dilakukan siraman dengan air wangi-wangian. Inilah akhir dari upacara nika ra neku.

Acara mandi untuk calon pengantin wanita dilakukan juga sebelum upacara perkawinan, yakni pada pagi hari sebelum acara kapanca. Mandi ini disebut boho oi mbaru yang artinya memandikan atau menghapus masa kegadisan bagi calon pengantin wanita. Setelah mandi dilanjutkan dengan boru atau cukuran yaitu mencukur dahi calon mempelai wanita menurut bentuk dandanan yang diperlukan.

Pada hari ketiga, pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria dalam acara yang disebut lao keka. Di tempat pengantin pria, diadakan acara pamaco, dimana kedua pengantin diperkenalkan pada para undangan yang satu per satu menyampaikan sumbangan, entah uang atau barang, bahkan secara simbolis menyerahkan seuntai tali apabila hadiahnya hanya merupakan seekor kerbau.

Mpaa Gantao

Mpa’a Gantao adalah salah satu tarian rakyat yang telah tumbuh sejak zaman kesultanan Bima. Atraksi keseniaan ini diperkirakan ada sejak masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin( 1648-1685).Atraksi kesenian ini cukup popular bagi masyarakat Bima, karena hingga saat ini masih tetap eksis dan dipertunjukkan dalam berbagai acara dan hajatan baik di lingkup Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Biasanya Gantao dipertunjukkan pada acara hajatan pernikahan maupun sunatan.

Mpa’a Gantao dimainkan oleh dua orang penari, ragam geraknya sama dengan ragam gerak silat, tetapi dimainkan dalam irama gerak yang cepat, begitu pula musik pengiringnya tidak jauh berbeda dengan irama musik Mpa’a sila(Silat), hanya iramanya lebih cepat. Alat music pengiringnya adalah dua buah gendang, Tawa-Tawa, Gong serta alunan Serunai Khas Mbojo yang disebut “ Sarone”. Dalam satu group Gantao terdiri dari lima orang pemain music dan 2 orang pemain Gantao.

Atraksi ini tergolong masih tetap eksis keberadaannya hingga saat ini. Meskipun hanya beberapa sanggar seni saja yang tetap menekuninya. Persoalan mendasar yang dihadapi para seniman adalah minimnya pembinaan dan bantuan peralatan serta kostum. Disamping itu, proses regenerasinya sangat lamban. Peniup Sarone saja semakin langka, aplagi penabuh gendang. Diperlukan pembinaan dan proses regenerasi untuk mengajak para pemuda bergelut di seni budaya tradisional Mbojo dalam rangka upaya pelestariannya.

Kareku Kandei

Kareku Kandei atau memukul lesung dengan berbagai ragam ritme dan irama adalah sebuah tradisi unik masyarakat Bima yang telah berlangsung sejak zaman dulu. Atraksi ini biasa dilakukan oleh kaum perempuan terutama setelah selesai menumbuk padi secara bersama-sama. Hal ini dilakukan sebagai hiburan dan pelepas lelah setelah menumbuk padi dan membersihkannya hingga menjadi beras.

Atraksi ini biasa dilakukan pada sore hari atau malam hari. Disamping itu, Kareku Kandei juga dilaksanakan pada saat Gerhana Matahari atau Gerhana Bulan diiringi bunyi kentongan sebagai pertanda bahwa Gerhana sedang terjadi.

Atraksi unik ini dimainkan oleh sekitar 4 sampai 6 orang perempuan dengan menggunakan Alu yang dalam Bahasa Bima disebut Aru. Alu atau Aru terbuat dari Kayu seperti Kayu Nangka, kadang juga terbuat dari Bambu. Sedangkan Lesung terbuat dari berbagai jenis kayu, tapi yang sering dijumpai adalah pembuatan Lesung (Kandei ) dari jenis Kayu Nangka. Karena Jenis Kayu ini dinilai sangat bagus dan menggema suaranya. Pada Zaman dulu, Kareku Kandei juga diringi senandung E Aule dan iringan Biola serta Gambo( Gambus) yang dilaksanakan terutama saat-saat panen padi dan sebagai ajang berkumpulnya muda mudi untuk bersyair, berpantun dan bersenandung.

Seiring perkembangan zaman dn tehnologi modern saat ini sudah tidak terdengar lagi alunan suara dari Kareku Kandei. Prosesi menumbuk padi sudah tergantikan dengan penggilingan padi yang tersebar di seluruh pelosok. Kini Lesung, Alu serta Antan sudah dimuseumkan oleh warga. Alat-alat tradisonal ini juga sudah banyak yang lapuk termakan usia karena tidak terawat dan disimpan begitu saja di kolong-kolong rumah.

Namun ada juga kreasi-kreasi dari generasi muda serta beberapa elemen masyarakat untuk melestarikan tradisi ini. Kandei(Lesung) menjadi salah satu alat musik tradisonal dalam bentuk kolaborasi musik yang menghasilkan harmonisasi musik tradisional moderen. Ada juga seniman yang ingin menggelar Festival Lesung ini. Bahkan setiap hari jadi Bima Pemerintah Kabupaten Bima menggelar lomba Kareku Kandei.

Kareku Kandei sebagai sebuah tradisi warisan lelulur dan atraksi seni yang memukai harus terus dipertahankan karena merupakan bagian dari keunikan dan romantika Bima tercinta…..

Hanta Ua Pua

Seperti dua sisi mata uang. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Demikianlah keterkaitan antara sejarah masukunya Agama Islam di tanah Bima dengan Upacara U’a Pua. Tanpa mengetahui seluk beluk kilas balik serta pasang surut sejarah masuk dan berekmbangnya Islam di Bima, tidaklah mungkin kita dapat mengetahui secara utuh proses dan sejarah lahirnya upacara adat U’a Pua. Oleh karena itu, ada baiknya kita bernostalgia dengan sejarah masuknya Islam di Bima yang menjadi tonggak dan babak baru perubahan sistim pemerintahan dari kerajaan kepada Kesultanan.

Adapun tujuan utama dari perayaan U’a Pua sebagai berikut :
  • Untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
  • Untuk mengenang kembali sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima dan sekaligus sebagai wahana penghormatan atas jasa-jasa para penghulu Melayu beserta seluruh kaum keluarga yang telah menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.
  • Meningkatkan pemahaman dan pengamalan Ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Alqur’an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bima dan ditunjukan dengan penyerahan Kitab Suci Alqur’an kepada Sultan sebagai pemimpin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan seluruh rakyat.
Hanta U’a Pua merupakan salah satu Upacacara Adat Spektakuler yang telah digelar turun temurun pada masa lalu, terutama pada masa-masa keemasan dan kejayaan kesultanan Bima. Upacara Adat yang erat kaitannya dengan sejarah masuk Agama Islam di Tanah Bima ini, te;ah menjadi rutinitas seluruh elemen masyarakat Bima sejak dekade awal masuknya Islam. UA PUA dilaksankan pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun.

Ua Pua dalam bahasa melayu disebut” Sirih Puan” adalah satu rumpun tangkai bunga telur berwarna warni yang dimasukkan ke dalam satu wadah segi empat. Jumlah bunga telur tersebut berjumlah 99(Sembilan Puluh Sembilan) tangkai yang sesuai dengan Nama Asma’ul Husna. Kemudian di tengah-tengahnya ada sebuah Kitab Suci Alqur’an.

Ua Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai(Bima: Uma Lige) yang berbentuk segi empat berukuran 4×4 M2. Bentuk Uma Lige ini terbuka dari ke empat sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para penari lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis, dan penari lenggo melayu yang terdiri dari empat orang perjaka, beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh seluruh mayarakat sepanjang jalan.

Uma Lige tersebut diusung oleh 44 orang pria yang berbadan kekar sebagai simbol dari keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut 44 jenis keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur Pemerintahan kesultanan Bima. Mereka melakukan start dari kampung melayu menuju Istana Bima untuk diterima oleh Sultan Bima dengan Amanah yang harus dikerjakan bersama yaitu memegang teguh ajaran Islam.

Pada masa lalu, sebelum Upacara Adat U’a Pua dilaksanakan sebagai puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni Budaya Tradisional dan pengajian Alqur’an selama tujuh hari, tujuh malam. Seluruh seniman dan Pendekar dari berbagai pelosok desa dalam wilayah kesultanan Bima berkumpul di lapangan Sera Suba untuk mempertunjukan kehebatannya. Dan pada puncak peringatan Maulid, Hanta U’a Pua pun digelar. Diawali pemukulan Ranca Na’e pada pukul 6 pagi dari loteng Gerbang Istana(Lare-Lare Asi). Hal tersebut dimkasudkan sebagai permakluman bahwa hari upacara adat telah tiba. Kemudian pada sekitar pukul 7 pagi utusan sultan yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, Anggota Laskar kesultanan, bersama penari lenggo Mbojo menjemput penghulu melayu di kediamannya, Kampung Melayu.

Sekitar pukul 8 pagi, rombongan penghulu melayu berangkat dari kampung melayu menuju Istana Bima. Keberangkatan rombongan tersebut ditandai dengan dentuman meriam. Adapun rombongan yang menyertai para penghulu melayu secara berurutan antara lain adalah Pasukan Jara Wera sebagai pengawal pembuka jalan, diikuti oleh pasukan Jara Sara’u dengan hentakan kaki kuda yang khas dan kuda pilihan, Anggota Laskar Suba Na’e dan Penari Sere, Pasukan Pengusung Uma Lige(Mahligai), dan terkahir diikuti oleh rombongan Pemuka Adat Dana Mbojo.

Ketika Penghulu Melayu beserta rombongan tiba di Istana Bima disambut pula dengan dentuman meriam dan berbagai atraksi serta tarian tradisional seperti tari kanja, tari sere,Gentaong dan dilanjutkan dengan Mihu yaitu pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai upacara penyerahan U’a Pua yang berisi Kitab Suci Alqur’an. Setelah U’a Pua diserahkan, penghulu melayu dan sultan duduk berdampingan sambil menyaksikan Tari Lenggo U’a Pua sebagai lambang keharmonisan hubungan dan simbol kesamaan Visi dan Misi masyarakat Mbojo dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Kemudian dibagian akhir Upacara ditandai dengan pembagian 99 tangkai bunga telur sebagai simbol Asma’ul Husna(99 sifat allah) kepada seluruh hadirin.

(Dikutip dalam Ensiklopedia Bima).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar