Dalam
Masyarakat Donggo dulu, upacara umumnya bernilai sakral. Misalnya upacara
persembahan kepada dewa. Mereka mengorbankan binatang seperti kerbau. Namun
upacara animis tersebut sudah ditinggalkan seiring dengan kian menguatnya
pengaruh Islam dalam kehidupan mereka.
Dalam
tulisan ini, akan dikemukakan secara singkat beberapa upacara seperti
pernikahan dan khitanan, antara lain dikutip dan diadaptasi dari Buku “Dou
(Manusia) Dompu”, edisi perdana 2001.
Pernikahan Adat Bima
Pernikahan
atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup
ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi
tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak
diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan
berpapasan. Jika kebetulan berpapasan makan calon dianggap tidak sopan. Untuk
itu harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu. Aturan yang ketat itu
tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini,
tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau
tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
Panati atau Dou Sodi
Dalam tradisi Bima, Panati menjadi pintu gerbang menuju ke jenjang pernikahan. Panati adalah melamar atau meminang perempuan. Panati diawali dengan datangnya utusan pihak laki-laki ke orang tua perempuan. Utusan datang untuk menanyakan apakah sang gadis sudah memiliki kumbang atau calon suami. Bila memperoleh jawaban bahwa sang perempuan berstatus bebas, kembali dilakukan pendekatan untuk mengetahui apakah perempuan itu dapat dilamar. Jika lamaran itu diterima oleh pihak perempuan, si pria melakukan apa yang disebut wi’i nggahi. Pada hari yang ditetapkan, pertunangan diresmikan dalam Upacara Pita Nggahi.
Upacara
melamar atau meminang dalam bahasa daerah disebut panati. Orang yang diutus
untuk melakukan pinangan disebut Ompu Panati. Bila pinangan itu diterima,
resmilah kedua remaja berada dalam ikatan pacaran. Satu dengan yang lain
disebut dou sodi (dou artinya orang,sodi artinya tanya, maksudnya orang yang
sudah ditanya isi hatinya dan sepakat untuk dinikahkan). Karena sudah saling
diikat, yang seorang sudah menjadi dou sodi yang lain, kedua remaja itu tak
bebas lagi untuk mencari pacar lain (Khaerul Muslim, 2001). Jika kedua
remaja itu sudah mengikat janji, biasanya perempuan meminta sang pria agar
mengirim orang tuanya. Biasanya sodi angitidak berlangsung lama melainkan
langsung diikuti dengan melamar sang gadis. Tujuannya, antara lain, untuk
menghindari fitnah dan hal-hal lain yang tidak terpuji.
Ngge’e Nuru
:
Ngge’e nuru
maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua. Ngge’e artinya
tinggal, nuru artinya ikut. Pria sudah diterima lamarannya, bila kedua belah
pihak menghendaki, sang pria diperkenankan tinggal bersama calon mertua di
rumah calon mertua. Dia akan menanti bulan baik dan hari baik untuk
melaksanakan upacara pernikahan. Datangnya sang pria untuk tinggal di
rumah calon mertua inilah yang disebut dengan Ngge’e Nuru. Selama terjadinya
ngge’e nuru, sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata
yang baik kepada calon mertuanya. Bila selama ngge’e nuru ini sang pria
memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang tidak sopan, malas dan
sebagainya, atau tak pernah melakukan shalat, lamaran bisa dibatalkan secara
sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti ikatan sodi angi diantara dua
remaja tadi putus. Tujuan utama ngge’e nuru ini adalah proses adaptasi
antara sang pria dengan kehidupan calom mertua. Selama ngge’e nuru, pria tidak
diperkenankan bergaul bebas dengan perempuan calon istrinya.
Wa’a Coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya upacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya. Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
M b o l o W e k i
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian. Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik, bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya.
Teka Ra Ne’e
:
Teka ra ne’e
ke keluarga yang melaksanakan hajatan merupakan kebiasaan di kalangan
masyarakat Bima. Teka ra ne’e berupa pemberian bantuan pada keluarga yang
mengawinkan putra putrinya. Bila upacara teka ra ne’e dimulai,
berduyun-duyunlah masyarakat (umumnya kaum wanita) datang ke rumah keluarga
tuan rumah membawa uang, bahan pakaian dan sebagainya. Selama acara
pernikahan digelar keramaian seperti malam hadrah atau biola semalam suntuk.
Ada pula olahraga seperti Guntaw atau tarian seperti Buja Kadanda.
Jambuta
:
Ada sebuah
acara yang menjadi bagian dari prosesi perkawinan yaitu jambuta. Semula acara
ini hanya berlaku di kalangan etnis Arab, namun akhirnya menjadi bagian dari
tradisi Bima maupun Orang Melayu. Jambuta hampir sama tujuannya dengan Teka ra
ne’e namun pelaksanaannya cukup satu hari. Sedang Teka ra ne’e berkisar antara
dua hingga tiga hari.
K A P A N C A
Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum calon penganti wanita dinikahkan. Setiba di uma ruka, calon pengantin wanita akan melaksanakan acar adat yang disebut kapanca, yaitu acara penempelan kapanca (inai) di atas telapak tangan calon pengantin wanita. Dilakukan secara bergiliran oleh ibu-ibu pemuka adat.
Kapancamerupakan
peringatan bagi si calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tak lama lagi
akan melakukan tugas sebagai istri atau ibu rumah tangga. Seiring dengan
kegiatan kapanca, akan disuguhkan juga sejenis kesenian rakyat yang bernafaskan
ajaran Islam yang disebut Ziki Kapanca yang dilakukan oleh para undangan.
Mereka akan membawakan syair bernuansa Islam yang liriknya berisi pujian dan
sanjungan pada Allah dan Rasul. Usai Ziki Kapanca dilanjutkan dengan pertunjukan
kesenian dan musik Mbojo Bima semalam suntuk.
A k a d N i k a h
Akad nikah merupakan puncak acara. Sebelum akad berlangsung, malamnya dilakukan upacara kapanca (memberi atau menghias daun pacar yang digiling halus pada jari-jari tangan dan kaki pengantin). Acara ini disebut londo dende, dimana pengantin pria diantar ramai-ramai oleh keluarga dan handai taulan dengan diiringi kesenian hadrah ke tempat pengantin wanita. Pengantin pria mengenakan pakaian adat pengantin. Kadang-kadang kedua pengantin diarak bersama-sama menuju tempat upacara. Seringkali pula hanya pengantin pria yang diarak. Pengantin wanita cukup menunggu di tempat upacara.
Di tempat
pengantin wanita dipersiapkan berpakaian adat pengantin dan duduk di atas
pelaminan yang dihias ornamen-ornamen tradisional. Duduknya di bawah (di atas
kasur berhias) dengan bersimpuh menurut adat (doho tuku tatu’u). Ia didampingi
seorang inang pengasuh dan dua remaja putri dari keluarga dekat yang bertugas
mengipas, selain itu duduk pula dua orang laki-laki atau perempuan yang membawa
alat penginang.
Di muka
pelaminan duduk berbaris berhadap-hadapan putri-putri remaja yang membawa lilin
berhias. Di belakang dan di samping mereka duduk para tamu ibu-ibu dan
bapak-bapak. Orang tua pengantin wanita duduk di sebelah pelaminan. Ruangan
tersebut dibatasi dengan tirai adat yang disebut Dindi Ra-Lara berwarna-warni.
Biasanya dipakai warna merah, hijau, kuning dan putih.
Saat
pengantin dan rombongan naik atau masuk ke ruangan, mereka berhenti di depan
tirai. Terjadilah semacam dialog pendek antara pengantar (bapak-bapak)
pengantin pria dengan penjaga tirai (bapak-bapak) pihak wanita. Setelah
diserahkan uang pelumas dan sirih pinang, barulah tirai dibuka oleh ibu-ibu
dari pihak wanita dari dalam tirai dan disambung dengan taburan beras kuning.
Masuklah
pengantin pria dengan dikawal dua orang bapak atau ibu yang berhenti di depan
pelaminan. Pengantin pria melangkah naik ke pelaminan dan menancapkan setangkai
kembang ke atas gelung penganting wanita yang duduk membelakangi. Pengantin
wanita mencabut kembangnya dan membuangnya (ini dilakukan tiga kali). Acara ini
disebut nenggu. Setelah neggu, pengantin wanita berbalik dan sama-sama duduk
berhadapan kemudian pengantin wanita sujud atau salaman dengan pengantin pria.
Selanjutnya mereka duduk bersanding untuk disaksikan oleh undangan dan handai
taulan.
Pada acara
ini seluruh masyarakat, pemuka agama, laki prempuan diundang untuk menyaksikan
dan memberi do’a restu. Pelaksanaan upacara ini bermacam-macam. Kadang-kadang
hanya dengan selamat biasa yang biasa disebut do’a jama. Kadang-kadang dengan
pesta yang cukup meriah dengan diiringi orkes atau band. Dengan disaksikan oleh
seluruh tamu, dihadapan petugas agama, saksi khusus, pengantin pria duduk
berhadapan dengan calon mertuanya, berpegangan tangan dalam posisi dua ibu jari
kanan mereka saling dirapatkan. Dalam posisi demikian, diadakanlah akad nikah
atau ijab kabul yang dalam bahasa daerah disebut lafa. Akad nikah atau ijab
kabul atau lafa harus didahului dengan mengucapkan kalimat syahadat yang
diucapkan oleh calon mertua atau wali dengan diikuti oleh mempelai pria.
Selesai
mengucapkan akad nikah, resmilah si pria menjadi suami si wanita. Proses
selanjutnya adalah mengantar pengantin laki-laki menuju tempat duduk pengantin
wanita dengan diantar oleh penghulu atau siapa saja yang ada di sekitar itu
untuk melakukan upacara caka(jengkal) yaitu ibu jari kanan pengantin pria
diletakkan di atas ubun-ubun pengantin wanita yang disusul dengan saling
berjabat tangan antar kedua pengantin yang selanjutnya mereka duduk
bersanding.Caka dimaksudkan sebagai pertanda permulaan sang suami menyentuh
istrinya dan mulai saat itu mereka sudah halal untuk bergaul sebagai suami
istri.
Boho Oi Ndeu :
Boho oi ndeu
adalah mandi sebagai pertanda ucapan selamat tinggal atas masa remaja. Boho oi
ndeu ini dilakukan sehari setelah akad nikah, dilangsungkan tapi sebelum
pengantin bergaul sebagai suami istri. Pada upacara ini kedua pengantin duduk
bersama pada tempat tertentu yang telah disediakan. Kemudian dari atas
kepalanya oleh dukun dituangkan air yang sudah disiapkan dalam periuk tanah
yang baru (roa bou; roa artinya periuk; bou berarti baru). Leher periuk
dilingkari dengan segulung benang putih. Boho oi ndeu biasanya dilakukan pagi
hari yang disusul dengan do’a selamatan pada sore harinya. Kedua pengantin
duduk berdampingan, menduduki suatu alat tenun yang disebut lira, sedangkan
badan mereka dililit dengan untaian benang tenun dari kapas putih sebagai
lambang ikatan suci kemudian dilakukan siraman dengan air wangi-wangian. Inilah
akhir dari upacara nika ra neku.
Acara mandi
untuk calon pengantin wanita dilakukan juga sebelum upacara perkawinan, yakni
pada pagi hari sebelum acara kapanca. Mandi ini disebut boho oi mbaru yang
artinya memandikan atau menghapus masa kegadisan bagi calon pengantin wanita.
Setelah mandi dilanjutkan dengan boru atau cukuran yaitu mencukur dahi calon
mempelai wanita menurut bentuk dandanan yang diperlukan.
Pada hari
ketiga, pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria dalam acara yang
disebut lao keka. Di tempat pengantin pria, diadakan acara pamaco, dimana kedua
pengantin diperkenalkan pada para undangan yang satu per satu menyampaikan
sumbangan, entah uang atau barang, bahkan secara simbolis menyerahkan seuntai
tali apabila hadiahnya hanya merupakan seekor kerbau.
Mpaa Gantao
Mpa’a Gantao
adalah salah satu tarian rakyat yang telah tumbuh sejak zaman kesultanan Bima.
Atraksi keseniaan ini diperkirakan ada sejak masa pemerintahan Sultan Abdul
Khair Sirajuddin( 1648-1685).Atraksi kesenian ini cukup popular bagi masyarakat
Bima, karena hingga saat ini masih tetap eksis dan dipertunjukkan dalam
berbagai acara dan hajatan baik di lingkup Pemerintah Daerah maupun masyarakat.
Biasanya Gantao dipertunjukkan pada acara hajatan pernikahan maupun sunatan.
Mpa’a Gantao
dimainkan oleh dua orang penari, ragam geraknya sama dengan ragam gerak silat,
tetapi dimainkan dalam irama gerak yang cepat, begitu pula musik pengiringnya
tidak jauh berbeda dengan irama musik Mpa’a sila(Silat), hanya iramanya lebih
cepat. Alat music pengiringnya adalah dua buah gendang, Tawa-Tawa, Gong serta
alunan Serunai Khas Mbojo yang disebut “ Sarone”. Dalam satu group Gantao
terdiri dari lima orang pemain music dan 2 orang pemain Gantao.
Atraksi ini
tergolong masih tetap eksis keberadaannya hingga saat ini. Meskipun hanya
beberapa sanggar seni saja yang tetap menekuninya. Persoalan mendasar yang
dihadapi para seniman adalah minimnya pembinaan dan bantuan peralatan serta
kostum. Disamping itu, proses regenerasinya sangat lamban. Peniup Sarone saja
semakin langka, aplagi penabuh gendang. Diperlukan pembinaan dan proses
regenerasi untuk mengajak para pemuda bergelut di seni budaya tradisional Mbojo
dalam rangka upaya pelestariannya.
Kareku Kandei
Kareku
Kandei atau memukul lesung dengan berbagai ragam ritme dan irama adalah sebuah
tradisi unik masyarakat Bima yang telah berlangsung sejak zaman dulu. Atraksi
ini biasa dilakukan oleh kaum perempuan terutama setelah selesai menumbuk padi
secara bersama-sama. Hal ini dilakukan sebagai hiburan dan pelepas lelah
setelah menumbuk padi dan membersihkannya hingga menjadi beras.
Atraksi ini
biasa dilakukan pada sore hari atau malam hari. Disamping itu, Kareku Kandei
juga dilaksanakan pada saat Gerhana Matahari atau Gerhana Bulan diiringi bunyi
kentongan sebagai pertanda bahwa Gerhana sedang terjadi.
Atraksi unik
ini dimainkan oleh sekitar 4 sampai 6 orang perempuan dengan menggunakan Alu
yang dalam Bahasa Bima disebut Aru. Alu atau Aru terbuat dari Kayu seperti Kayu
Nangka, kadang juga terbuat dari Bambu. Sedangkan Lesung terbuat dari berbagai
jenis kayu, tapi yang sering dijumpai adalah pembuatan Lesung (Kandei ) dari
jenis Kayu Nangka. Karena Jenis Kayu ini dinilai sangat bagus dan menggema
suaranya. Pada Zaman dulu, Kareku Kandei juga diringi senandung E Aule dan
iringan Biola serta Gambo( Gambus) yang dilaksanakan terutama saat-saat panen
padi dan sebagai ajang berkumpulnya muda mudi untuk bersyair, berpantun dan
bersenandung.
Seiring
perkembangan zaman dn tehnologi modern saat ini sudah tidak terdengar lagi
alunan suara dari Kareku Kandei. Prosesi menumbuk padi sudah tergantikan dengan
penggilingan padi yang tersebar di seluruh pelosok. Kini Lesung, Alu serta
Antan sudah dimuseumkan oleh warga. Alat-alat tradisonal ini juga sudah banyak
yang lapuk termakan usia karena tidak terawat dan disimpan begitu saja di
kolong-kolong rumah.
Namun ada
juga kreasi-kreasi dari generasi muda serta beberapa elemen masyarakat untuk
melestarikan tradisi ini. Kandei(Lesung) menjadi salah satu alat musik
tradisonal dalam bentuk kolaborasi musik yang menghasilkan harmonisasi musik
tradisional moderen. Ada juga seniman yang ingin menggelar Festival Lesung ini.
Bahkan setiap hari jadi Bima Pemerintah Kabupaten Bima menggelar lomba Kareku
Kandei.
Kareku
Kandei sebagai sebuah tradisi warisan lelulur dan atraksi seni yang memukai
harus terus dipertahankan karena merupakan bagian dari keunikan dan romantika
Bima tercinta…..
Hanta Ua Pua
Seperti dua
sisi mata uang. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Demikianlah keterkaitan
antara sejarah masukunya Agama Islam di tanah Bima dengan Upacara U’a Pua.
Tanpa mengetahui seluk beluk kilas balik serta pasang surut sejarah masuk dan
berekmbangnya Islam di Bima, tidaklah mungkin kita dapat mengetahui secara utuh
proses dan sejarah lahirnya upacara adat U’a Pua. Oleh karena itu, ada baiknya
kita bernostalgia dengan sejarah masuknya Islam di Bima yang menjadi tonggak
dan babak baru perubahan sistim pemerintahan dari kerajaan kepada Kesultanan.
Adapun
tujuan utama dari perayaan U’a Pua sebagai berikut :
- Untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
- Untuk mengenang kembali sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima dan sekaligus sebagai wahana penghormatan atas jasa-jasa para penghulu Melayu beserta seluruh kaum keluarga yang telah menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.
- Meningkatkan pemahaman dan pengamalan Ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Alqur’an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bima dan ditunjukan dengan penyerahan Kitab Suci Alqur’an kepada Sultan sebagai pemimpin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan seluruh rakyat.
Hanta U’a
Pua merupakan salah satu Upacacara Adat Spektakuler yang telah digelar turun
temurun pada masa lalu, terutama pada masa-masa keemasan dan kejayaan
kesultanan Bima. Upacara Adat yang erat kaitannya dengan sejarah masuk Agama
Islam di Tanah Bima ini, te;ah menjadi rutinitas seluruh elemen masyarakat Bima
sejak dekade awal masuknya Islam. UA PUA dilaksankan pada bulan Rabiul Awal bertepatan
dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun.
Ua Pua dalam
bahasa melayu disebut” Sirih Puan” adalah satu rumpun tangkai bunga telur
berwarna warni yang dimasukkan ke dalam satu wadah segi empat. Jumlah bunga
telur tersebut berjumlah 99(Sembilan Puluh Sembilan) tangkai yang sesuai dengan
Nama Asma’ul Husna. Kemudian di tengah-tengahnya ada sebuah Kitab Suci
Alqur’an.
Ua Pua
ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai(Bima: Uma Lige) yang
berbentuk segi empat berukuran 4×4 M2. Bentuk Uma Lige ini terbuka dari ke
empat sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para penari lenggo Mbojo yang
terdiri dari empat orang gadis, dan penari lenggo melayu yang terdiri dari
empat orang perjaka, beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada
di atas dapat dilihat oleh seluruh mayarakat sepanjang jalan.
Uma Lige
tersebut diusung oleh 44 orang pria yang berbadan kekar sebagai simbol dari
keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut 44 jenis keahlian dan ketrampilan
yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur Pemerintahan kesultanan Bima.
Mereka melakukan start dari kampung melayu menuju Istana Bima untuk diterima
oleh Sultan Bima dengan Amanah yang harus dikerjakan bersama yaitu memegang
teguh ajaran Islam.
Pada masa
lalu, sebelum Upacara Adat U’a Pua dilaksanakan sebagai puncak peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW, diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni Budaya
Tradisional dan pengajian Alqur’an selama tujuh hari, tujuh malam. Seluruh
seniman dan Pendekar dari berbagai pelosok desa dalam wilayah kesultanan Bima
berkumpul di lapangan Sera Suba untuk mempertunjukan kehebatannya. Dan pada
puncak peringatan Maulid, Hanta U’a Pua pun digelar. Diawali pemukulan Ranca
Na’e pada pukul 6 pagi dari loteng Gerbang Istana(Lare-Lare Asi). Hal tersebut
dimkasudkan sebagai permakluman bahwa hari upacara adat telah tiba. Kemudian
pada sekitar pukul 7 pagi utusan sultan yang terdiri dari tokoh-tokoh adat,
Anggota Laskar kesultanan, bersama penari lenggo Mbojo menjemput penghulu
melayu di kediamannya, Kampung Melayu.
Sekitar
pukul 8 pagi, rombongan penghulu melayu berangkat dari kampung melayu menuju
Istana Bima. Keberangkatan rombongan tersebut ditandai dengan dentuman meriam.
Adapun rombongan yang menyertai para penghulu melayu secara berurutan antara
lain adalah Pasukan Jara Wera sebagai pengawal pembuka jalan, diikuti oleh
pasukan Jara Sara’u dengan hentakan kaki kuda yang khas dan kuda pilihan,
Anggota Laskar Suba Na’e dan Penari Sere, Pasukan Pengusung Uma Lige(Mahligai),
dan terkahir diikuti oleh rombongan Pemuka Adat Dana Mbojo.
Ketika
Penghulu Melayu beserta rombongan tiba di Istana Bima disambut pula dengan
dentuman meriam dan berbagai atraksi serta tarian tradisional seperti tari
kanja, tari sere,Gentaong dan dilanjutkan dengan Mihu yaitu pernyataaan
kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai upacara penyerahan U’a Pua
yang berisi Kitab Suci Alqur’an. Setelah U’a Pua diserahkan, penghulu melayu
dan sultan duduk berdampingan sambil menyaksikan Tari Lenggo U’a Pua sebagai
lambang keharmonisan hubungan dan simbol kesamaan Visi dan Misi masyarakat
Mbojo dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Kemudian dibagian
akhir Upacara ditandai dengan pembagian 99 tangkai bunga telur sebagai simbol
Asma’ul Husna(99 sifat allah) kepada seluruh hadirin.
(Dikutip
dalam Ensiklopedia Bima).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar